Tadi malam nih aku nonton acara lepas malam di tipi. Jujur aja ya, sekarang-sekarang ini aku benci banget sama hampir semua acara tv, terutama yang lokal. kerana aku ngerasa nggak dapet apa-apa dari sana. Terhibur nggak, Dapat Informasi juga nggak. Tapi apa mau dikata, dulu aku pernah baca bukunya Robert T Kiyosaki (Aku baca ini karena aku suka baca buku, bukannya aku penganut “sekte” MLM tertentu loh ya) yang bilang bahwa “tv adalah sumber informasi bagi orang bodoh dan orang miskin”. Kayaknya bener juga nih. Karena sahabat terdekat kita yang selalu disamping kita saat dibutuhkan di rumah adalah tv. huh? menyebalkan, tapi mau gimana lagi. Apa mau dibuang tvnya? wo…

Eh balik lagi ya ke lepas malam. Kebetulan waktu pas aku nonton temanya tentang pelestarian lingkungan. Ada beberapa penerima penghargaan Kalpataru yang hadir.. tapi bukan itu yang menarik perhatianku tadi malam.. cuma seceplos joke saja dari artis tamu Sarah Azhari yang aku nggak ngeh! Waktu itu dia ditanya Kalo para pengusaha penjarah perusak lingkungan itu ditangkap enaknya dihukum apa? Dan seperti biasa artis-artis macem gini menjawab dengan segala kejeniusan-nya “Mungkin dihukum jadi tukang sampah aja ya suruh bersihin jalan..” Dan begitulah acara pun mengalir kembali. Mungkin terdengar biasa atau lucu kalau didengar… tapi lain halnya kalau kau ADALAH seorang tukang sampah! Apa salahku hingga keadaanku dianggap sebagai hukuman? Apa dosaku hingga para perusak lingkungan yang merugikan orang banyak harus itu dikutuk menjadi aku. Apakah aku ini semacam kutukan? Aku cuma berusaha sekuat tenagaku ini, sekuat otakku yang miskin pendidikan ini untuk menjaga perutku dan perut istri dan anak-anakku tetap terisi nasi… itu saja! Aku tidak merugikan orang lain, apalagi merusak lingkungan!

Lebih jauh lagi aku berpikir tentang lelucon-lelucon yang menjadi tren di masyarakat ini. Mengapa semuanya mencela keadaan orang lain? Apa tidak ada sumber humor yang lain? Contoh? Lihat saja para pembawa acara dan tim pencela API-nya TPI. Sesuai namanya mereka saling mencela satu sama lain. dan para penonton tertawa terbahak-bahak… aku bener-bener nggak ngerti keadaan ini. Celaan dan ejekan mereka begitu dalam dan berulang-ulang. Komeng, Omas, Ulfa, Narji dan sebagainya. Ya ampun mereka saling mencela kondisi fisik sampai habis tak bersisa, mulai dari muka, mulut, kulit, gigi, hidung, keturunan dan banyak lagi. Mungkin menurut pendapatku Komeng lebih tepat disebut sebagai “pencari dan pencela keburukan orang” daripada seorang pelawak.

Masih soal acara API itu, salah satu celaan mereka seperti ini kira-kira ” Ya pantes aja dia begitu dia ini kan lulusan SLB!” Lucu? tentu saja, penonton pada tertawa.. tapi sekali lagi lain halnya kalau kau pernah sekolah di SLB atau anak atau saudaramu yang di SLB. Tahu apa mereka tentang anak-anak SLB? Tentang perjuangan mereka untuk menjalani hidup? Tentang perjuangan keluarga mereka untuk memasukkan anak-anak terbelakang ini ke masyarakat? Bayangkan betapa sedih hati mereka ini, toh mereka tidak memilih untuk terlahir sebagai seorang tuna grahita.

Kenapa ya model lelcucon ini yang populer di masyarakat? mungkin banyak beribu alasan dan hipotesis sosial yang bisa dikemukakan. Aku bukan sosiolog atau psikolog (dan tidak pernah memerankan mereka di televisi :-)), namun aku rasa cukup orang biasa saja yang dibutuhkan untuk meyadari bahwa “something is wrong here..”Namun lepas dari ini sebenarnya banyak hal yang bisa membuat kita tertawa tanpa menghina kekurangan orang lain, untuk tertawa tanpa menyakiti. Begitu banyak hal didunia ini yang mampu menyentuh hati kita untuk tersenyum dan tertawa. Ah.