Judul tulisan ini memang menohok. Wudhu adalah sebuah langkah persiapan untuk menunaikan shalat dalam agama Islam. Sementara Toba adalah sebuah kawasan di sekitar salah satu danau terbesar di dunia yang hampir semua penduduknya memeluk agama Kristen. Toba kerap digunakan sebagai istilah yang merujuk kepada Batak Kristen. Maksudnya, bila seseorang mengaku dirinya sebagai anggota komunitas Batak Toba, serentak dengan itu sang lawan bicara mengambil kesimpulan instan: temanku ini pasti beragama Kristen.
Tapi, kerinduan untuk berwudhu dengan menggunakan air danau Toba sungguh-sungguh hidup dalam diri seorang Muslimin bernama Saparudin Situmorang, tokoh utama dalam cerpen Pulang yang ditulis Suhunan Situmorang dalam buku kumpulan cerpen Dari Sebuah Guci. Sang penulis beragama Kristen, warga jemaat HKBP Jatiwaringin. Suhunan pernah bercerita kepada saya rintihannya tentang beberapa kerabat bermarga Situmorang yang tiba-tiba menarik diri dari kumpulan marga karena berpindah keyakinan, memeluk agama Islam. Tidak ada yang salah dengan berpindah keyakinan, tak ada pula yang keliru dengan berdiam setia kepada agama yang dianut, tetapi kenapa keberbedaan agama membuat kami jadi terpisah seolah jika seseorang beragama Islam dia lantas kehilangan haknya di dalam kumpulan marga Situmorang, tanya Suhunan dengan wajah pilu. Tak ada yang bisa mencabut marga seseorang; tidak pendeta, tak juga seorang mubaligh.
Sudah berbulan-bulan Saparudin menanggung rindu untuk pulang kampung ke Desa Urat di Pulo Samosir. Dia tahu, hampir semua orang-orang di kampung halamannya memeluk agama Kristen. Itu membuatnya mengira bahwa menjadi Situmorang yang Islam adalah sebuah penyimpangan. Jika sampai di bona pasogit, setelah melacak silsilah, pastilah pertanyaan yang kemudian teraju adalah tentang agama yang dianut, pikirnya. Kuatir dengan bayangan penolakan semacam itu, kerinduan Saparudin menguap. Sebab, bahkan Ayahnya pun dahulu tak punya nyali menuntaskan damba menghirup uap air danau biru itu dan hanya bisa menangis berminggu-minggu sebelum ajal menjemput.
Ibu dan ayah Saparudin keluar dari Desa Urat puluhan tahun lalu. Mereka berpindah dari satu tempat ke tempat lain sebelum akhirnya menetap di Labuhan Ruku, sebuah kawasan yang sebagian besar penduduknya beragama Islam. Pergaulan, kebersamaan, kekerabatan baru membuat mereka memutuskan untuk beralih keyakinan: menjadi mualaf. Selepas itu, mereka tak lagi bersambung dengan dunia Batak Toba. Jiwa dan tubuh Saparudin sejak lahir telah tercebur ke dalam dunia Maya-maya, dunia puak Melayu Asahan.
Uniknya, meski tak lagi hidup sebagai orang Batak, apalagi Batak Toba, orang-orang seperti Saparudin mempertahankan dengan ketat pencantuman marga di belakang namanya dan bersikukuh tak menjalani pernikahan semarga, apa pun alasannya. Mereka berjumlah puluhan ribu. Kaum Batak Toba menyebut mereka sebagai Dalle: Batak yang tak lagi Batak, orang yang sekadar punya marga.
Menurut tuturan ayahnya, mereka yang kemudian dijuluki Dalle itu adalah kumpulan manusia Batak Toba yang dahulu kala meninggalkan bumi Samosir, Toba, Uluan, Humbang, Silindung dan wilayah tano Batak lainnya bersebab getirnya kehidupan. Lahan Tano Toba yang kerap dipuja para penggubah lagu ternyata amat terbatas untuk dijadikan penghasil pangan, sementara jumlah perut yang menuntut makanan terus bertambah.
(Pulang, Suhunan Situmorang, Dari Sebuah Guci, hal. 30)
Namun, kendati pun keberpisahan itu begitu jelas, ada sesuatu yang tak bisa dielakkan manusia Batak Toba, apa pun agama yang dianutnya: sebuah danau nan elok, danau yang menjadi sumber inspirasi bagi lahirnya kidung, tembang, cerita, novel di seputar puak Batak. Danau itu begitu kuat memanggil semua penghuni dan keturunan mereka untuk pulang menengok dan berbaring di haribaannya. Entah apa yang merasuk sanubari banyak orang. Keluasannyakah, keteduhannyakah, keheningan tak terperi, uap airnya yang berkesan magis?
Entahlah. Tapi kerinduan yang sama mencengkeram dada Saparudin. Tutur cerita sang Ayah tentang danau biru itu begitu kuat membekas. Dia bertekad untuk pulang. Setelah menabung bebulan-bulan, Saparudin melangkahkan kaki. Dan perjalanannya betul-betul sebuah drama. Dia sibuk membayangkan losmen mana yang akan dipilih untuk disinggahi. Pemiliknya yang beragama Kristen, makanan yang tidak halal, serta syak wasangka yang mungkin tumbuh berhadapan dengan pendatang yang tak becus berbahasa Batak adalah beberapa dari banyak kekuatiran yang merambat nadinya.
Saparudin menyeka cairan bening dari bola matanya yang meluncur tanpa ia sadari. Kembali dia menatap Danau Toba yang sudah terbentang di hadapan. Kendati degup jantungnya masih berpacu liar karena bus yang ditumpangi begitu garang melewati jalan berliku di atas jurang Sibaganding, ia tak kuasa menahan takjub melihat danau yang dari kejauhan nampak bagai hamparan kaca raksasa. “Tak kusangka seluas ini,” desisnya dengan pandangan kagum.Perasaannya mengharu biru tatkala turun dari bus lalu menjejak pasir pantai Tigaraja-Parapat. Ia buru-buru melangkah menuju bibir danau, meletakkan tas jinjing dan peci hitamnya di atas bebatuan, kemudian menarik celananya sampai ke batas lutut. Berkali-kali ia membasuh wajah. “Alhamdulillah. Allahu Akbar,” gumamnya seraya menengadah ke langit.
(Pulang, Suhunan Situmorang, Dari Sebuah Guci, hal. 26)
Saya tak bosan mengulang dan membaca halaman tersebut. Takbir yang dikumandangkan Saparudin menggetarkan seluruh sendi dan tulang, menerbitkan kebebasan sejati, dan membuat saya kian percaya bahwa bumi yang kita diami ini adalah planet untuk semua agama. Takbir Saparudin memecah kebuntuan dan mengingatkan saya untuk mencari saudara-saudara bermarga Panggabean yang selama ini terasing, kehilangan rasa percaya diri hanya karena mereka menganut agama Islam, agama yang bukan menjadi arus utama di kalangan Panggabean.
Maka saya pun terkenang kepada sebuah masa saat Papa, Partogi Panggabean masih hidup. Siang itu kami kedatangan tamu, seorang lelaki Panggabean beragama Islam yang berusaha mencari kerabatnya. Dia tinggal di Kalimantan dan bertahun-tahun tak lelah menyusur silsilah untuk menemukan pucuk. Kesimpulan akhir, keluarga kami adalah Panggabean terdekat, meski sebetulnya tak cukup dekat. Berangkatlah lelaki ini ke Jakarta dengan membawa istri, adik dan kakak, juga anak-anaknya. Mereka tiba di rumah kami dengan kegembiraan yang tak berhasil ditutupi. Para perempuan mengenakan jilbab tapi tak merasa asing. Saya ingat persis betapa bersemangatnya Papa menyambut. Percakapan beberapa jam pada hari itu sudah cukup bagi kami untuk masing-masing menabalkan atribut kudus: kami bersaudara. Tahun berlalu, setiap kali berkunjung ke Jakarta, mereka tak pernah alpa singgah di rumah kami.
Ada beberapa hal, memang, dari keberagamaan yang menghadirkan sekat-sekat pemisah. Setidaknya, saya mencatat satu: makanan. Ini perkara pelik. Di banyak jamuan pesta adat Batak, daging babi kerap jadi menu utama. Meski beberapa keluarga sudah menggantinya dengan sapi atau kerbau, harganya tak terjangkau oleh orang Batak kebanyakan. Dengan santun para Batak Kristen menyediakan sebuah meja yang berisi makanan-makanan halal untuk disantap mereka yang beragama Islam. Tapi, justru di sana keberpisahan itu menjadi jelas: kita tidak duduk semeja perjamuan. Padahal acara makan bersama adalah petanda paling tegas bagi sebuah kesadaran suci: kita berinduk pada satu moyang. Meja par subang, demikian istilah bagi meja yang diperuntukkan kepada non Batak dan non pemakan babi, adalah, sesungguhnya, meja pengasingan.
Belum lagi ketika jambar dibagikan. Ada beberapa hak yang dimiliki lelaki Batak dalam acara adat: hak berbicara dan hak mendapat organ tubuh binatang yang dijadikan santapan pesta. Para Batak Kristen dengan bersukacita dan lapang membawa haknya pulang, apa pun jenis daging yang dibagikan. Tidak demikian dengan lelaki Batak Muslim. Mereka, mau tak mau, menyingkir dan bersikap seolah tak hirau akan hak tersebut. Namun, akibat yang kemudian terjumpa mungkin saja adalah biang masalah: karena merasa tak berhak atas jambar daging, tentu saja lambat laun mereka pun tak merasa perlu berseturut dengan segala kewajiban. Maksud saya, secara psikologik, rasa memiliki itu perlahan memudar.
Ini sekat yang harus segera dirubuhkan. Orang-orang Batak Toba Kristen selayaknya bercermin kepada banyak teman-teman muslimin dan muslimah di negeri ini yang tak putus-putusnya berjuang menegakkan Indonesia bagi semua. Saya mengerti, itu bukan perkara mudah. Selain pilihan-pilihannya terbatas, harganya pun –sekali lagi- tak cukup terjangkau.
Nah, sambil terus berupaya meraih kesempatan untuk duduk semeja dalam jamuan pesta dengan rasa lapang dan nir wasangka, cerpen Pulang Suhunan Situmorang mengajak kita kembali pada sesuatu yang bisa dijadikan pemersatu kuat keberadaan puak Batak Toba: sang danau biru. Suhunan bukan seorang presiden sehingga dia tak biasa berwacana; bersama dengan beberapa teman dia mendirikan kelompok peduli Danau Toba dengan nama Save Lake Toba Community yang berjuang tak henti menjaga kelestarian alam dan lingkungan di sekitarnya.
Danau Toba memanggil saya, memanggil Saparudin Situmorang, memanggil bapauda saya, Munir Panggabean, memanggil Zulaikha Pardosi, memanggil Paulus Simangunsong dan banyak kaum Batak lainnya untuk pulang serta menemukan kembali keIndonesiaan di dalam Batak saat kita menceburkan diri di airnya yang biru. Itu sebabnya dada saya bergelora ketika menulis ode buat Toba dalam sebuah lagu berjudul Darimana Rinduku Bermula, sebagai lagu tema untuk cerpen Pulang yang dibawakan dengan romantik dan jenaka oleh Paruhum Aritonang.
darimana rinduku bermula, kasih
hingga tak sempat ‘ku bernapas lega
dan mengapa panahmu menghujam masih
perih dan ngilu di batas senja
hingga tak sempat ‘ku bernapas lega
dan mengapa panahmu menghujam masih
perih dan ngilu di batas senja
darimana swaramu memancar merdu
hingga jantungku lompat menyambutmu
apa pula yang menjangkitiku s’lalu
membuat mataku tak mau pejam
hingga jantungku lompat menyambutmu
apa pula yang menjangkitiku s’lalu
membuat mataku tak mau pejam
mungkin biru airmu,
mungkin teduh parasmu,
mungkin jugalah luasmu yang mencengk’ram
memanggilku pulang
mungkin teduh parasmu,
mungkin jugalah luasmu yang mencengk’ram
memanggilku pulang
namun satu yang pasti
kan kukenang abadi
persaudaraan yang rukun hidup di sekitarmu
www.darisebuahguci.com
kan kukenang abadi
persaudaraan yang rukun hidup di sekitarmu
www.darisebuahguci.com
Ini lagu indah sepanjang 5 menit 27 detik. Jika ingin mendengar sepenggal darinya, silahkan unduh melalui tautan berikut ini: http://www.fileden.com/files/2010/11/28/3026304//DMRB.mp3