Aku ini bukan orang yang terlalu concern dengan masalah2 sosial. Bukannya tidak memperhatikan, tentu saja memperhatikan, tapi ya sebatas itu. Selanjutnya hanya berupa pergulatan-pergulatan opini, atau pencernaan yang tanggung dalam pikiranku. Atau, kalo memang topiknya sedemikian membara, maka jadilah bahan bicaraan (dan guyonan) di kala ngobrol ngalor ngidul bersama teman2.
Tapi bagi sebagian banyak orang, demonstrasi, mungkin adalah salah satu wujud perpanjangan dari opini-opini tadi. Opini yang berbenturan dengan opini dari otoritas yang ada, opini yang tidak menemukan jalan untuk disalurkan, sehingga tumpah. Tumpah dari pikiran, meluber ke jalan-jalan, ke gedung-gedung pemerintahan dan ke halaman pabrik-pabrik. Satu2nya pengalamanku ikut berdemo adalah waktu kelas 1 SMA dulu, tahun 1998, masa ketika “reformasi” adalah kata yang paling populer di Indonesia. Demo yang aku ikutipun adalah berupa demo resmi, serentak dari berbagai instansi di Semarang waktu itu, di mana seluruh murid memang dilibatkan. Aku waktu itu turut membuat spanduk unik ala rakyat, yang memakai koran bekas, dan tanah liat untuk menuliskan kata2nya… ah masa-masa itu
Coba lihat, sudah beberpa tahun terakhir ini TV kita tak pernah sepi dari berita Demonstrasi. Orang yang demo karena tempat tinggalnya digusur karena menempati lahan terlarang yang bukan miliknya, tentunya dalam hati kecilnya sudah tahu bahwa hari itu pasti akan datang. Opiniku? Daripada demo.. mending mulai cari tempat tinggal lain, atau pulang ke kampung halaman kalau masih punya. Orang demo karena diberhentikan dari pekerjaannya, alasannya karena perusahannya menjelang bangkrut. Opiniku? Daripada demo bahkan mengikutkan istri dan anak2, mending mulai cari pekerjaan lain. Tapi kadang memang tak sesederhana itu, kadang memang ada yang tidak beres sehingga ucapan2 saja tidak cukup dan dibutuhkan teriakan2 dengan megaphone untuk mengungkapkannya.
Demonstasi adalah perbedaan pendapat dan kepentingan. Benar dan salah menjadi suatu yang blur kalo ditilik dari sudut pandang orang luar (atau setidaknya sudut pandangku). Kadang yang lemah juga belum tentu yang benar. Tapi ada suatu kasus akhir-akhir ini yang jelas-jelas suatu kesalahan, jelas-jelas perampasan hak, jelas-jelas suatu ketidakadilan, yang bahkan membuat aku (yang tidak concern ini) bagaimanapun juga ingin ikut bersuara. Yaitu : Lumpur Panas Lapindo di Porong. Baru saja aku lihat di TV, demonstasi warganya yang menuntut kejelasan nasib mereka. Sangat menyedihkan. Bayangkan saja, beberapa desa tenggelam, rumah-rumah, sekolah, tempat usaha bahkan perusahaan kecil tenggelam. Mereka salah apa? Hidup mereka baik-baik saja sebelumnya. Tiba2 dalam waktu sekejab saja, apa yang mereka punya, yang mereka kenal dan yang mereka tahu, semuanya terendam lumpur. Hidup mereka terendam lumpur. Bagaimana, sudah selesai dibayangkannya?
Maka wajarlah segala amarah itu, normalah semua emosi itu dan manusiawilah segala isak tangis itu. Warga Porong, kebenaran kalian dalam hal ini adalah mutlak! Hak kalian dalam hal ini adalah absolut! Teruslah berjuang. Rakyat Indonesia, dukunglah mereka, dalam hal apa saja. Pemerintah… masih bisakah tidur nyenyak ya melihat mereka? Malah DPR-nya minta naik gaji. Wadoooh! Coba itu uang hasil pengembalian hasil pembatalan PP No. 37 dialihkan saja untuk merelokasi warga Porong. Atau apalah, kalian kan berkuasa, harusnya penderitaan mereka tak perlu berlangsung selama ini.
–
Berhubung tidak punya gambar tentang lumpur Porong, maka gambarnya itu saja, sekalian numpang demo, menyampaikan protesku saat ini