Rabu, 26 Januari 2011

LEONID SAKLITINOV, ASLI LOKAL

Diposting oleh re di 07.25
“Namaku Leonid Saklitinov” katanya sambil menepuk dada. Ya benar, temanku itu namanya Leonid Saklitinov. Bila dilihat orang banyak mengira ia orang Rusia atau kalau zaman dulu Uni Soviet. Sikapnya sok cool, seperti orang kaukasia.
Kalau bertemu langsung, orang yakin bahwa dia produk lokal, nggak mungkin orang Rusia atau Soviet. Lihat saja badannya yang kekar dan berkulit “sawo busuk” alias hitam, yakinlah bahwa dia orang lokal. Dia temanku yang membawaku ke kota Bandung ini. Kami memang sekampung, Pantura Jawa. Benar Kami “anak Pantai” maka tidak heran kulit kami terbakar matahari.
Sewaktu di Kampung, orang-orang meledek namanya yang unik. Sebenarnya nama dia adalah gabungan nama orangtuanya dan hari kelahirannya. Bapak bernama Legiman dan Ibu Ponidjah, digabungkan secara akronim menjadi “Leonid”. Dia dilahirkan Sabtu Kliwon Tiga November, disingkat lagi menjadi “Saklitinov”, jadi ia bernama LEONID SAKLITINOV. Aku biasa panggil dia “Boss!” karena sebutan itu yang diinginkannya.
Sementara aku sendiri punya nama keren, Jayadi purnomo. Sayang si Leonid, suka memanggilku “Mono”. Padahal aku ingin dipanggil dengan “Jay” atau “Pram”, kan lebih keren.
“Mon, beliin aku samsu lah!” pintanya padaku setiap tanggal 27, ia minta dibelikan satu bungkus rokok Dji Sam Soe, pas banget selalu setiap aku gajian.Yang paling nyebelin dia panggil aku ‘Mon”, emangnya emon! kenapa sih nggak panggil Jay atau Pram??!!!
Sialan, kerjaannya malakin aku melulu” pikirku dalam hati. Hanya dalam hati, karena aku tak berani ngomong langsung. Selain takut juga nggak enak, dialah yang mengajakku ke kota ini. Wajar aku sebut dia Boss.
Aku tinggal di kosan yang sama, meskipun beda kamar. Pemilik rumah tinggal di lantai bawah sementara kami di atas. Si Leonid kamarnya menghadap ngulon -barat, sementara kamarku ngadap lor -utara. Kos-kosan itu ditengah perkampungan padat. Untuk mengaksesnya saja melalui gang sempit yang disebut gang senggol. Setiap orang yang melaluinya, sulit menghindari senggolan sesama pemakai jalan.
Aku hanyalah buruh kasar di EO (event Organiser) yang tugasnya mencuci piring, masang tenda dan menyusun blocking pelaminan kalau ada kendurian. Gaji tidak seberapa, tetapi pemilik EO sangat baik padaku. Setiap pulang, aku bisa membawa sisa makanan yang tidak habis di kendurian.
Di kosan, si Leonid sering meminta makanan. “Mon, aku minta sepiring ya!” itulah kalimat yang sering kudapati setiap malam sepulang kerja. Mon lagii…mon lagii…
Paling kesel kalau lagi ada cewek gebetan -sesama karyawan katering, datang. Mosok si Leonid masih panggil aku “mon”. Kesel Aku. Jadinya Ceweku memanggilku “Mas Mon” coba kalau manggil “Mas Pram” kan kereeeen.
Si leonid sebenarnya baik, ia kerja serabutan persisnya seorang calo di plaza yang menyediakan layanan service dan penjualan elektronika; TV, Komputer hingga tape dan TV canggih untuk mobil. Ia memberiku kipas angin bekas. Ah.. lumayan untuk ngadem. Maklum kosanku berdinding tripleks beratapkan seng. Kalau siang wuaduuuuh… puanaas!
Tiga hari tak ada acara di EO, uangku sudah habis, cekak nih. Habis dipakai nraktir bakso cewek gebetan plus teman-temannya 20 orang.  Wes pokoke habis-habisan. Order kerjaan sepi. Kata pemilik EO baru ada lagi acara minggu depan.
“Mon, ada nasi?” tanya Leonid
“Gak ada bos. Ini juga baru mau masak nasi, tapi lauknya nggak ada. Di Warung Mbak Sus, ikan asinnya habis. Aku mau ke pasar dulu.” jawabku. Aku sesekali memasak nasi sendiri, untuk menghemat anggaran.
“Waah.. aku ikut ya, Mon!” kata Leonid.
“Tumben Bos, mau ikut ke pasar.” jawabku, “tapi oke lah.”
Kami pergi ke pasar tradisional. Dekat dari kosan, ongkos angkot pun cuma 1000 rupiah. Tapi saat kami turun di pasar itu, tidak bayar. Maklum si Bos Leonid preman yang kenal sama sopir angkotnya.
Di pasar aku langsung menuju penjual ikan asin, beli 4 biji telor dan cabe buat sambal. Leonid ngikutin seperti asistenku saja. Oh ya di pasar itu banyak tukang asongan yang menjual lap, kantong plastik, rokok dan lain-lain.
Ada pula penjual asongan yang menawarkan pete. “Mas petenya mas!” ia menawarkan. Pete itu satu ikatan sekira 10 biji. Aku berniat membelinya. Si Leonid Saklitinov menoleh ke arah tukang pete, tiba-tiba “WAAAAAAAA…!!” ia teriak dan berlari keluar pasar menuju jalan. Semua orang yang ada di situ kaget. Aku pun tak mengerti apa yang terjadi. “Mas mas, nggak jadi saya beli petenya.” kataku sambil berlari menyusul Leonid.
Di pinggir jalan, si Leonid duduk di atas tembok kirmir pembatas jalan. Ditangannya ada sebatang rokok. Rupanya ia ingin menenangkan diri. Tangannya diangkat hendak menyedot asap rokok. Terlihat tangannya gemetar.
“Boss…ada apa bos?” tanyaku heran.
“Aku takut pete tahu!” jawabnya tanpa menghiraukan kedatanganku.
“hua ha ha ha ha ha…” aku tertawa tak tahan mendengar jawaban itu. Ternyata Leonid Saklitinov, berbadan kekar dan sok Cool seperti orang Soviet itu taku sama pete. Ini rupanya yang disebut fobia lachanophobia – ketakutan dengan sayur-sayuran. Tapi pas nggak ya fobia itu, lachanophobia kan ketakutan dengan sayur-sayuran. Si Leo ini takut sama pete: Petephobia kali.
“Awas kalau koe bilang-bilang sama orang!” Ancam dia.
“Hua ha ha ha” aku masih belum bisa menahan ketawa.
“Ini serius!” ucapnya sambil menoleh ke arahku dan matanya terbelalak. Akun berhenti tertawa.
“Okey Bos, aku nggak akan bilang-bilang sama siapa pun. tapi mulai hari ini bos nggak boleh manggil namaku Mono atau Mon lagi, tapi Jay atau pram ya!” kataku sambil menahan tawa.
“Okey, terserah koe lah” ucapnya sambil naik ke dalam angkot untuk kembali ke kosan.
Salam
 

BIG BLOG OF HOAX Copyright © 2010 Designed by Ipietoon Blogger Template Sponsored by Emocutez