Gayus dimana-mana, mulai dari warung kopi hingga warung politik. Mulai dari tukang becak hingga pejabat, Gayus menjadi topik pembicaraan hangat. Saya menyebutnya masyarakat kita sedang demam Gayus. Ada apa di balik fenomena ini?
Nama Gayus Halomoan Tambunan, anak muda mantan staf Kantor Perpajakan mendadak memiliki rating tinggi. Dan fantastis, Gayus ternyata memiliki daya keterkenalan luar biasa mengalahkan Ariel Peterpan atau tokoh politik kontroversi yang sering mengundang kemarahan publik. Ketika media massa –cetak, elektronik, maupun online—menghadirkan kabar tentang Gayus, mendadak indeks rating naik tajam.
Ya! Gayus memang sedang laris dan menjadi buah bibir masyarakat Indonesia bahkan dunia karena keberaniannya ‘memutar-alur’ dana pajak hinga miliaran rupiah. Tidak hanya itu, dalam menjalankan aksinya, ada indikasi Gayus melibatkan banyak pihak sehingga modusnya disebut kejahatan korporasi.
Terlepas dari modus aksi Gayus, ada perkembangan menarik seputar Gayus apabila dilihat dari perspektif psikososial. Ketika masyarakat menghujat, mencibir, memaki, atau bahkan menyanjung secara satir, secara tidak sadar, sebenarnya sedang ‘mengagumi’ Gayus Tambunan. Menurut saya, mengagumi seseorang tidak harus karena suka tetapi kebencian dan kejengkelan justru menghadirkan perasaan yang beda.
Fenomena demam Gayus berimplikasi kepada sikap unik (baca: spontan) masyarakat secara umum. Ambil contoh, ketika ke Solo, di depan pintu masuk Terminal Tirtonadi, saya melihat banyak para penjual kaos oblong bergambar Gayus dengan tulisan; Gayus for Indonesia. Sebuah satir yang menarik karena dengan hadirnya Gayus maka sindikat mafia pajak –meski belum semuanya—terungkap. Lain cerita ketika saya ke Surabaya yang menemukan cafe kecil bernama Gayuslista. Cafe tenda ini berada di seputar kawasan Universitas Airlangga. Sepertinya, cafe didesain tidak permanen dan mirip pedagang kaki lima.
Tetapi apapun itu, Gayus telah menginspirasi banyak kalangan. Jika saya boleh berpikir nakal, Gayus membuat Indonesia lebih cerdas dan berani. Nah! Dengan momentum tertangkapnya Gayus maka sindikat mafia pajak perlahan terkuak. Sisi cerdasnya, aparat menjadi sigap mengamankan –dalam makna sebenarnya—tokoh pejabat yang disinyalir terlibat. Sisi cerdas yang lain, para mafioso di ranah hukum menjadikan Gayus sebagai ‘media eksperimen’ untuk mengelabuhi publik. Dengan mempermainkan opini publik, maka Gayus dengan nyaman melenggang keman saja meski statusnya adalah terdakwa.
Diakui atau tidak, gara-gara Gayus, para tukang becak, penjual kopi, dan ‘pengangguran’ menjadi cerdas dadakan. Setiap kesempatan mereka membicarakan sosok Gayus dari berbagai perspektif. Dengan logika terbalik, ketika keburukan yang diungkap sejatinya sang pengungkap memiliki kekaguman secara tidak sadar terhadap Gayus. Semestinya kita berterima kasih kepada Gayus karena telah membuka kesadaran kritis masyarakat tanpa memandang tingkat pendidikan.
Sekali lagi, jika boleh usul nobatkan Gayus sebagai Man of The Year karena laku inspiratifnya. Seandainya tidak ada Gayus, mungkin pejabat atau aparat yang nyambi menjadi mafia pajak tidak akan terungkap. Terlepas silang-sengkarut penanganan kasusnya, bagi saya, Gayus telah membuka kesadaran masyarakat. Nama Gayus pun menjadi topik hangat pembicaraan di mana saja.
Fenomena Gayuslista!